Duka Dua Puluh Dua
Hari
itu aku sedang berkhayal tentang sebuah kehidupan. Kehidupan yang
diidam-idamkan oleh banyak orang yaitu hidup tanpa kesedihan. Lamunanku
terpecah bersamaan dengan pesan yang terus menerus masuk ke telepon genggamku.
Dengan rasa penasaran aku lihat pesan itu. “Innalillahi
wainnailaihi rojiun” itulah
kalimat yang pertama kali aku lihat. Dan seketika badanku lemas saat aku tau
bahwa kabar duka itu datang dari teman dekatku. Seakan tak percaya bahwa ini
adalah kenyataan. Aku belum siap menerimanya. Sejenak aku tidak yakin dengan
kabar itu. Terlebih lagi sebab atas kepergiannya ialah karena sakit. Aku
sebelumnya tidak pernah mendengar kabar bahwa ia sedang sakit. Aku belum yakin
dengan kabar kepergiannya. Teman-teman dan orang terdekatku datang ke rumah
sakit yang dikabarkan untuk memastikan kebenaran kabar tersebut. Setelah
menunggu lama kabar kepastian, akhirnya ada pesan yang masuk. Sesegera mungkin
aku membukanya dan aku mendapati foto seseorang yang terbaring ditutupi kain
berwarna coklat. Pada saat itu aku masih ragu, hingga sampai saat aku mendapati
foto kedua ketika kain itu dibuka. Ternyata kabar itu benar adanya, yang terbaring
dibalik kain itu adalah temanku. Temanku yang dulu mengajariku menari hingga
akhirnya meraih juara. Teman yang tak luput dari kejahilanku ketika dulu sedang
berlatih tari. Teman yang dulu sering menegurku ketika aku bersikap
kekanak-kanakan. Teman yang selalu menyempatkan diri untuk bertemu ketika aku
datang ke jogja. Teman yang menyuruhku untuk kembali menari setelah aku
memutuskan untuk berhenti. Ya itu benar temanku yang terbaring diam diatas
ranjang dikelilingi banyak orang dan ditutupi oleh kain berwarna coklat seakan-akan berusaha untuk menutupi raut wajah yang selama ini menahan rasa
sakit. Tak bisa lagi egoku menahan air mata untuk mengalir. Masih terngiang
dikepalaku bagaimana kau menyapaku, bagaimana kau tertawa, bagaimana saat
kau memarahiku. Aku teringat sebuah janji bahwa kita akan menari lagi dengan
formasi lengkap di setiap pernikahan anggota tim tari kita. Dan sepertinya aku
akan mulai melupakan janji itu agar aku tidak larut dalam kesedihan atas
kepergian dirimu. Hmm seindah itu ya pertemanan kita. Mungkin romantisme itulah
yang membuatku sulit untuk menerima kabar bahwa kau benar-benar telah tiada. Aku
pikir kau lupa dengan ulang tahunku beberapa hari yang lalu tapi ternyata akulah
yang terlalu egois hingga tidak mencari tau akan keadaanmu. Aku ingin melihatmu
untuk terakhir kalinya tetapi hidup membawa masalah dengan menghadirkan jarak
antara kita. Aku gagal menjadi teman yang baik untukmu. Bahkan untuk
mengantarkanmu ke tempat peristirahatan terakhir saja aku tidak mampu. Kata
maaf sudah tidak bisa lagi kusampaikan kepadamu. Mungkin yang bisa aku lakukan
hanya mendoakanmu agar kau bahagia disana sebagai bentuk permohonan maafku.
Sekarang
sakit yang selama ini membuatmu menderita, sudah tidak lagi kau rasakan. Mungkin begitulah cara Tuhan mengungkapkan
cinta-Nya yang begitu besar terhadapmu. Tuhan tidak ingin kau menahan sakit
lebih lama lagi sehingga memanggilmu untuk kembali kepada-Nya. Ketika aku siap
dengan pertemuan, aku tidak boleh egois untuk menentang sebuah perpisahan.
Dengan cara mengikhlaskanmu mungkin akan membuatmu tersenyum disana dan perpisahan
ini akan menjadi bukti rasa sayangku terhadapmu. Kehidupan yang aku inginkan
ternyata tidak akan pernah ada. Sebab Tuhan telah menciptakan kehidupan dengan
seimbang. Akan ada duka setelah bahagia, begitupun sebaliknya. Sejujurnya aku
masih sangat ingin bercengkerama denganmu, tapi aku tidak berhak
untuk memberhentikan atau memutar balik waktu yang sedang berlalu. Terima kasih
atas semua kebaikan yang telah kau persembahkan dengan ikhlas. Semoga kau
tenang disana. Kami semua selalu mendoakanmu disini. Semoga kita bisa bertemu
ditempat yang indah di akhirat kelak. Aamiin.
terima kasih kak :)
BalasHapus